Judul: Tren Meninggalkan Media Sosial, Fenomena “Kabur” dari Pelarian Digital

Jakarta – Media sosial yang awalnya diciptakan untuk menjalin hubungan kini justru menjadi sumber kecemasan bagi banyak pengguna, terutama kalangan muda. Platform seperti Facebook, Instagram, dan X (Twitter) dinilai telah kehilangan fungsi utamanya sebagai sarana komunikasi dan berubah menjadi mesin adiksi berbasis algoritma.

Fitur infinite scrolling membuat pengguna terus-menerus terpapar konten baru, menciptakan efek candu yang merusak kesehatan mental. Fenomena ini diperparah dengan doomscrolling—kebiasaan mengonsumsi berita negatif dan sensasional yang memicu stres serta kekhawatiran berlebih.

Selain itu, media sosial kini menjadi panggung pertunjukan kehidupan para influencer yang sering kali tidak mencerminkan kenyataan. Kehidupan glamor yang ditampilkan menimbulkan perasaan tertinggal dan tidak cukup baik di kalangan pengguna biasa. Akibatnya, banyak orang merasa lelah dengan “pertunjukan tanpa henti” ini.

Munculnya konten buatan kecerdasan buatan (AI) turut memperburuk situasi. Banyak konten palsu dan misinformasi tersebar luas tanpa kontrol, menimbulkan kekhawatiran akan teori Dead Internet—yakni gagasan bahwa sebagian besar konten di internet kini bukan lagi buatan manusia.

Sebagai respons, semakin banyak orang memilih untuk melakukan detox digital atau bahkan berhenti total dari media sosial. Langkah ini dinilai dapat mengembalikan kendali atas waktu, fokus, serta kesehatan mental. Waktu yang biasanya dihabiskan untuk scrolling kini bisa dialihkan ke aktivitas produktif seperti membaca, belajar, dan berkreasi.

Fenomena ini bukan sekadar tren, melainkan refleksi atas kebutuhan manusia modern untuk kembali hidup seimbang di tengah dominasi teknologi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *