Jakarta – Tradisi “oprek” sistem operasi Android yang dulu ramai dilakukan pengguna kini mulai kehilangan pamor. Kebebasan yang ditawarkan Android untuk memasang custom ROM — sistem operasi hasil modifikasi pihak ketiga — kini lebih banyak dianggap sebagai hobi ketimbang kebutuhan.
Di masa awal perkembangan Android, banyak pengguna mengganti ROM bawaan karena sistem operasi pabrikan seperti MIUI atau TouchWiz sering dianggap berat dan penuh bloatware. Custom ROM seperti LineageOS, PixelOS, dan GrapheneOS menjadi solusi bagi mereka yang menginginkan performa ringan dan tampilan bersih layaknya stock Android.
Namun, situasi kini berubah. Produsen ponsel besar seperti Samsung, Oppo, dan Vivo telah memperbaiki kualitas antarmuka mereka. Sistem seperti OneUI, ColorOS, dan OriginOS kini tampil lebih stabil, minim bloatware, dan sarat fitur yang dulu hanya bisa didapat lewat ROM kustom.
Selain itu, dukungan pembaruan perangkat lunak yang makin panjang juga membuat kebutuhan memasang ROM pihak ketiga semakin berkurang. Samsung, misalnya, kini menjanjikan hingga tujuh tahun pembaruan sistem dan keamanan untuk seri S dan Z mereka.
Meski begitu, keberadaan custom ROM belum sepenuhnya punah. Ia masih relevan bagi pengguna ponsel lawas yang sudah tidak mendapat pembaruan resmi, atau bagi mereka yang ingin lepas dari ekosistem Google dengan ROM tanpa layanan GMS.
Fenomena ini menunjukkan perubahan perilaku pengguna Android: dari kebutuhan teknis menjadi ekspresi personal. Custom ROM kini bukan lagi soal performa, melainkan soal kebebasan dan hobi.
“Skema yang dulunya ramai kini tinggal kenangan, tapi semangat open-source Android menjamin bahwa dunia custom ROM tidak akan benar-benar mati.”

