Jakarta – Salah satu keunggulan utama sistem operasi Android sejak awal adalah sifatnya yang terbuka dan bebas, memungkinkan pengguna memasang aplikasi dari sumber mana pun tanpa batasan. Namun, kebijakan baru yang diterapkan Google mulai menimbulkan kekhawatiran karena dinilai mengarah ke sistem yang lebih tertutup, bahkan disebut semakin mirip dengan iOS milik Apple.
Mulai tahun 2027, Google berencana menerapkan program verifikasi pengembang untuk aplikasi yang dirilis di luar PlayStore. Program ini mewajibkan developer mendaftarkan dan memverifikasi identitas mereka jika ingin mendistribusikan aplikasi melalui jalur nonresmi atau sideloading. Langkah tersebut disebut Google sebagai upaya meningkatkan keamanan, karena aplikasi di luar PlayStore diklaim 50 kali lebih rentan terhadap malware.
Meski demikian, kebijakan ini menuai kritik tajam dari komunitas power user dan pengembang open-source (FOSS). Mereka menilai langkah tersebut akan mematikan ekosistem aplikasi bebas seperti F-Droid, karena banyak developer kecil enggan menyerahkan data pribadi mereka kepada Google. Akibatnya, inovasi dan pengembangan aplikasi mandiri dikhawatirkan menurun drastis.
Selain itu, Google juga disebut semakin membatasi pengembangan custom ROM. Pengembang seperti LineageOS mengaku kesulitan membuat sistem alternatif karena Google tidak lagi menyertakan device tree dan kernel source code untuk perangkat Pixel dalam build AOSP (Android Open Source Project). Alasan resmi Google adalah untuk memisahkan AOSP dari sistem Pixel agar lebih “fleksibel,” namun hal ini justru menyulitkan komunitas pengembang independen.
Langkah ini memunculkan perdebatan besar: apakah Google memang harus memperketat keamanan Android, atau justru sedang berupaya mengendalikan penuh ekosistemnya seperti Apple? Beberapa pihak kini berharap Komisi Eropa dan Digital Market Acts (DMA) dapat meninjau kebijakan tersebut, agar Android tetap mempertahankan jati dirinya sebagai sistem operasi yang terbuka bagi semua pihak.