Konsep cloud gaming sempat digadang-gadang sebagai masa depan industri game: bermain tanpa perlu konsol mahal, tanpa upgrade PC, cukup mengandalkan koneksi internet stabil. Namun, teknologi ini masih sulit berkembang di banyak negara—termasuk Indonesia.

Meski teknologi sudah tersedia, adopsi cloud gaming global masih rendah. Di atas kertas, layanan ini menawarkan kemudahan layaknya “Netflix untuk game,” namun praktiknya sangat bergantung pada kualitas internet. Koneksi harus stabil, konsisten, dan ber-latensi rendah—sesuatu yang masih menjadi tantangan di banyak wilayah Asia Tenggara, Amerika Latin, maupun sebagian Eropa Timur.

Di Indonesia, koneksi cepat tidak selalu berarti pengalaman bermain mulus. Lonjakan latensi membuat game sering tidak playable, terutama untuk permainan kompetitif. Selain itu, beberapa layanan besar seperti Xbox Cloud Gaming belum dirilis secara resmi di tanah air.

Harga juga menjadi penghambat. Model langganan bulanan yang dianggap wajar di Amerika Serikat terasa mahal bagi gamer Indonesia. Banyak yang lebih memilih membeli game secara permanen melalui platform seperti Steam, PlayStation Store, atau Game Pass tanpa fitur cloud.

Selain kendala teknis, efisiensi dan profitabilitas juga membuat penyedia layanan enggan memperluas pasar. Sony menilai cloud gaming masih menghadapi masalah latensi dan konsumsi sumber daya yang tidak efisien. Akibatnya, banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak masuk daftar ekspansi.

Para analis menilai bahwa cloud gaming mungkin akan berkembang ketika infrastruktur internet membaik dan biaya langganan lebih terjangkau. Namun untuk saat ini, gamer Indonesia masih merasa lebih nyaman menggunakan PC, konsol, atau warnet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *