Jakarta – Satu dekade setelah kegagalan Google Glass pada 2013, tren kacamata pintar atau smart glasses kini kembali mencuri perhatian. Jika dulu teknologi ini dianggap tidak praktis dan minim fungsi, kini para raksasa teknologi seperti Meta, Apple, dan Bigscreen mencoba menghidupkan kembali ide tersebut lewat inovasi berbasis mixed reality dan kecerdasan buatan (AI).
Perkembangan teknologi input juga menjadi kunci kemajuan smart glasses masa kini. Tidak lagi bergantung pada sentuhan, perangkat modern kini mengandalkan kontrol suara, gesture tangan, dan deteksi gerakan mata untuk berinteraksi. Contohnya, Ray-Ban Display dari Meta memadukan perintah suara dengan kontrol gesture melalui gelang pendeteksi impuls listrik agar terasa lebih natural.
Kemajuan AI dan chip prosesor mobile yang semakin bertenaga turut membuat kacamata pintar kini lebih fungsional. Selain menampilkan informasi sederhana seperti jam atau cuaca, perangkat ini kini bisa menjawab perintah suara layaknya chatbot dan menjalankan komputasi ringan secara mandiri.
Namun, sejumlah tantangan besar masih menghantui pengembang. Desain yang belum sepenuhnya praktis, bobot yang cenderung berat, serta daya tahan baterai yang terbatas masih menjadi hambatan utama. Seperti halnya Apple Vision Pro yang hanya mampu bertahan sekitar 2,5 jam pemakaian, pengembang smart glasses dituntut mencari solusi efisien tanpa mengorbankan kenyamanan pengguna.
Meski terlihat semakin matang, banyak pihak menilai smart glasses belum siap menggantikan smartphone. Fungsinya masih terbatas, dukungan aplikasi belum luas, dan pasar pengguna masih tergolong niche.
Untuk saat ini, kacamata pintar mungkin masih sebatas gadget pelengkap futuristik — menarik, tetapi belum menjadi kebutuhan utama. Namun dengan arah inovasi yang terus berkembang, bukan tak mungkin smart glasses akan menjadi bagian penting dari ekosistem teknologi masa depan.