Jakarta – Artificial Intelligence (AI) terus berkembang pesat, melahirkan berbagai teknologi baru. Salah satu yang paling banyak diperbincangkan beberapa tahun terakhir adalah Deepfake, teknologi berbasis AI yang mampu mengganti wajah atau bahkan suara seseorang dalam sebuah video sehingga tampak nyata.
Istilah deepfake pertama kali muncul di Reddit pada 2017 lewat forum r/deepfakes, ketika seorang pengguna bernama “deepfake” membagikan video pornografi dengan wajah selebritas yang diganti. Sejak itu, popularitasnya meluas, termasuk munculnya video Paus Fransiskus dengan jaket puffer hingga Ratu Elizabeth II yang tampak berdansa.
Secara teknis, ada dua metode utama pembuatan deepfake. Pertama, Deep Neural Networks (DNN) yang melatih AI untuk menempelkan wajah ke dalam video sumber dengan menyesuaikan ekspresi. Kedua, Generative Adversarial Networks (GANs) yang bekerja dengan sistem generator dan discriminator untuk menciptakan hasil yang semakin sulit dibedakan dari aslinya. Kini, teknologi ini juga bisa meniru suara hanya dengan sampel pendek.
Deepfake memiliki potensi manfaat di bidang kreatif, seperti efek visual film, menghidupkan kembali aktor yang telah meninggal, hingga membantu pendidikan dan aksesibilitas bagi difabel. Namun, sisi gelapnya tidak bisa diabaikan: penyebaran hoaks, pornografi non-konsensual, hingga penipuan daring yang bisa merugikan materiil maupun reputasi korban.
Dengan manfaat besar sekaligus risiko tinggi, deepfake menghadirkan dilema etis. Regulasi, kebijakan ketat, serta teknologi pendeteksi yang lebih canggih menjadi kunci agar teknologi ini dapat dimanfaatkan tanpa menimbulkan kerugian serius.